Saga itu bernama cinta...(part 1)
16.12.10 by Zaza in Label:

dimulai dari nol, memulainya dengan bismillahirramanirahim...
==++==
=+=


adalah anugrah terbesar
mengenalmu sebagai seorang teman
menyayangimu sebagai seorang saudara
dan mencintaimu sebagai seorang kekasih

indah yang tiada tara
ketika lembayung perlahan berubah menjadi saga
untuk mengakhiri satu cerita
tentang cita dan cinta

ini tentang kita
dan aku bahagia karenanya...

kertas itu terselip di antara tumpukan buku-buku mas Fatah. aku baru pertama kali melihatnya, dan mas Fatah pun belum pernah menceritakan apapun tentang ini. aku mencoba untuk tidak berprasangka apapun, tapi jujur saja, meski sesaat, aku bertanya-tanya dan menduga ini ditulis oleh seorang wanita yang entah siapa. dan puisi itu, untuk mas Fatah kah? lalu aku melanjutkan mencari buku fiqh, dan mengabaikan tentang temuanku itu. aku bisa tanyakan nanti, bila mas Fatah sudah pulang..
==|||==

malam itu, semuanya berjalan sebagaimana biasanya, sebelum sesuatu Safa tanyakan padaku. Sebuah cerita yang belum pernah aku bagi padanya, tentang masa laluku...

aku tiba dirumah pukul setengah tujuh malam. istriku menyembulkan kepalanya dari dapur sambil tersenyum setelah tadi ia menjawab riang salamku. aku membalas senyumnya dan meneruskan langkahku ke kamar. lalu aku mandi, dan setelahnya kulihat Safa telah menungguku untuk makan malam.

kami makan malam bersama sambil bertanya tentang hari ini. sebuah rutinitas sederhana yang menambah romantisme diantara kami berdua. mudah-mudahan hal kecil seperti ini tidak akan membosankan setelahnya, untuk sekarang ya tentu saja sangat menyenangkan. karena diwaktu itu dan setelahnya lah kami saling mengenal satu sama lain. sedikit banyak, aku jadi tahu seperti apa istri yang baru kunikahi 3 bulan ini. dan dia pun sepertinya menikmati momen ini.

sebelum aku mulai bertanya, dia sudah mendahuluiku bertanya.
"Tadi gimana di kantor mas?"
"Ya gak ada yang berubah sih, dan gak ada yang heboh-heboh. cuma tadi pa Zul nanyain paper yang aku buat."
"Yang kemarin di kerjain itu? emang belum jadi ya?"
"Besok Insya Allah, tinggal di rapihin aja sih..., ucapku sambil tersenyum. lalu aku melanjutkan,
"Kamu sendiri, hari ini gimana?"
"Sama, biasa juga. hari ini aku jadwal ngajar jam 10an sampai jam 3. besok aku jadwal siang sampe sore ya mas..."
setelah bertanya kabar, perbincangan kami berlanjut ke topik lain. kali ini membicarakan tentang anak didik istriku yang susah sekali untuk fokus belajar. bukan maksudnya ghibah, cuma share untuk mencari jalan keluarnya.

seperti obrolan kami sebelumnya, obrolan kali ini pun masih menggantung. tapi karena hari semakin malam, maka kami menyelesaikan bincang-bincang tersebut. setelah itu aku mengerjakan tugas kantorku di depan tv, tujuannya sambil menyimak berita hari ini. sedang Safa, kulihat ia membuka laptopnya dan mengerjakan sesuatu di sana.
==|||==

aku sedang mencari tambahan bahan materi di internet, di buku fiqh yang kubaca tadi pagi tentu sudah dapat poin intinya, tapi aku sedang mencari contoh aplikasi kesehariannya. tiba-tiba, aku teringat sesuatu yang kutemukan tadi...
"Mas..."
"Ya?", Mas Fatah menyahut tanpa mengalihkan pandangannya
"Mas tadi aku nemu kertas, isinya puisi gitu. di tumpukan buku di kamar, yang di lemari bawah...itu punya mas?"
"Kertas apa?"
"Aku ambil aja ya..."
aku beranjak ke kamar dan mengambil kertas tersebut. lalu aku duduk di sebelah mas Fatah.
"Ini..."
kuserahkan kertas itu. mas Fatah membukanya dan membacanya. hanya sebentar saja untuk menjelaskan ketidakmengertiannya, karena sesaat ku lihat perubahan di wajahnya. untuk ekspresi terkejut, ragu, dan samar-samar tentang luka...setelah selesai, mas Fatah menyerahkannya padaku kembali, ia tak mengucapkan sesuatu pun untuk menjelaskannya. dan ia tak berani menatap wajahku.

aku tahu ada yang tidak beres. perubahan sikap mas Fatah sudah cukup memberitahuku. mas Fatah seperti menghindariku, secara tidak langsung tentu saja. ia tidak berani matapku. aku mengenal mas Fatah, walau baru 3 bulan menikah, tapi aku tahu dia selalu menatapku ketika bicara, bahkan langsung menatap mataku. ketika bicara, apalagi dengan laki-laki, mas Fatah selalu menatap tepat dimatanya, makanya orang bilang kalau mas Fatah punya aura membius...entah apa maksudnya...?
"Mas...", kusentuh lembut lengannya
ia menoleh dan kemudian baru mulai menatapku. kutangkap ekspresi bingung di wajahnya.
"Kenapa mas?kok jadi diem? itu punya mas?"
"Ya..."
"Dari?"
mas Fatah kembali diam, dia hanya menatapku dengan tatapan hampa. setelah itu dia menggenggam erat tanganku, mengangkatnya lantas menciumnya...
"Maafin mas..."
==|||==

Ya Allah...kertas itu, puisi itu, gadis itu...semuanya berputar-putar di kepalaku. dan aku bingung harus mengatakan apa kepada Safa. apakah lebih baik kuceritakan saja semuanya? aku tahu, aku salah karena menyembunyikan semua ini. tapi aku belum siap bila harus menceritakannya yang berarti aku harus membuka kenangan-kenangan yang memilukan itu. meski begitu, adakan pilihan lain selain bercerita? mungkin ada, tapi aku tahu Safa menunggu jawabanku...

mungkin ini akan menjadi sebuah titik baru bagi kehidupanku. namun aku berharap, cerita ini tidak membuatku harus berpisah dengan Safa. perlahan ku beranikan diri untuk memandangnya. kusentuh tangannya dan kugenggam erat. ingin kukatakan, "aku tidak ingin kehilanganmu..."

"Maafin mas, mas tahu mas salah, salah besar. tapi sebelumnya mas mau kamu tahu sesuatu, bahwa mas tidak bermaksud membohongimu apalagi mengkhianatimu, dan mas sangat mencintai mu, karena Allah...", aku berhenti sejenak.
"Puisi itu, dari Alfi..."
"Alfi itu?", Safa memotong pelan.
"Dia, pernah menjadi istri mas..."
kulihat seolah ada sebuah petir yang menyambar dan mengagetkan pendengaran dan penglihatannya. Safa hanya diam tidak berkata apapun, hanya mematung saja. dan ketika dia sudah mulai sadar dengan yang terjadi, perlahan dia menggeser tanganku dan melepas genggamannya. dengan mata yang menahan tangis, pelan-pelan ia menggeser duduknya lantas bangkit dan berlari ke kamar.

aku tahu, lima kata sakti yang terakhir kuucapkan itu sudah mampu membuat angin berkecamuk kencang di antara kami. cukup membuaskan riak ombak yang akan menerjang kehidupanku dan Safa. cukup dengan lima kata sakti itu, sebuah perubahan yang aku tak tahu baik atau buruk akan terjadi.

ketika Safa berlari dan kemudian menangis dikamar, aku justru tidak tahu harus melakukan apa. apakah aku harus mendatanginya dan menenangkannya? hm, innocent sekali! atau aku akan memohon maaf padanya ketika ia sedang seperti ini? hm, pengemis macam apa itu! maka aku hanya menunggunya saja. tidak peduli aku dinilai sebagai orang yang seperti apa saat itu. tapi aku tahu, berjuta kata yang aku jelaskan tidak akan diterima bila orang yang kita sakiti seperti itu sedang dalam keadaan kalut. aku akan menunggunya hingga tenang, aku tahu Safa orang yang bijak...
==|||==

"Dia, pernah menjadi istri mas..."
aku menagis sejadi-jadinya. begitu jauh yang kupikirkan terkait ucapan terakhir mas Fatah. tentang kebohongan, tentang pengkhianatan, tentang bahwa sudah ada wanita lain di samping mas Fatah, tentang bagaimana kehidupan pernikahan mereka, dan tentang urusan yang lain. aku menangis tanpa aku peduli penjelasan mas Fatah. walau aku yakin, ada penjelasan yang rasional di balik itu semua. tapi aku masih tidak bisa terima, hal sebesar dan sepenting ini mas Fatah sembunyikan dariku. ini kebohongan besar. dan aku telah memutuskan, untuk membangun sebuah dinding diantara kami.

karena terlalu lelah menagis, sepertinya aku tertidur. aku bangun karena terkaget. jam menunjukkan pukul 2 dini hari. dan aku tidak menemukan mas Fatah tidur di sampingku. tapi aku tahu dia telah masuk ke kamar, untuk mematikan lampu. aku beranjak bangun untuk menunaikan shalat isya sekalian shalat tahajud. ketika keluar kamar, kulihat mas Fatah tertidur di sofa depan tv. tugas kantornya masih berantakan tak jauh dari situ.

aku akan membangunkannya setelah aku shalat nanti. aku ingin bermunajat dulu kepada Allah. memohon keputusan terbaik, meminta di perlihatkan jalan yang harus aku lalui...maka malam itu aku berdoa:
"Ya Allah Ya Karim, Engkau jauh lebih tahu apa yang hamba rasakan. hamba tidak tahu apakah ini cemburu yang berlebihan, atau sikap kekanak-kanakkan. hamba hanya belum bisa memahami, bagaimana hal penting seperti itu disimpan oleh suami hamba ini Ya Allah? salahkah sikap hamba yang seperti itu? tunjukkan hamba kebenaran itu. dan bimbing hamba menuju keputusan yang terbaik. kehadirannya telah menjadi penyempurna sebagian dien hamba, maka ikatkan hati kami di jalan-Mu Ya Allah..."

seperti janjiku tadi, selepas shalat aku membangunkan mas Fatah. tidak banyak yang aku ucapkan, aku hanya menyentuh tangannya saja lalu mengingatkan shalat dan menawarinya untuk tidur di kamar. aku masih memasang dinding itu diantara kami, aku masih bersikap dingin pada mas Fatah. agar dia tahu, bahwa aku sangat tidak setuju dengan yang dia lakukan.
==|||==

ini sudah malam ketiga setelah pengakuan itu terjadi. dan betul saja, berubahan memang terjadi. Safa sangat bersikap dingin padaku. aku juga jadi serba salah, tentu saja aku merasa sangat berdosa. betapa aku sangat tersiksa menjalani hari-hari seperti itu, terutama bila aku berada di rumah. meski Safa tetap melakukan kewajibannya, tapi itu semua ia lakukan dengan diam. tak kulihat senyum dan suara riangnya dihari-hari terakhir ini.

keadaan yang seperti itu, membuat penyesalanku justru berujung pada panjang angan. ah, betapa aku menyesali hal itu terjadi. andai saja aku bisa memutar kembali waktu, aku akan ceritakan kisah ini dari awal. akan kuceritakan sebelum aku mengkhitbahnya atau bahkan ketika kami ta`aruf sekalian. tapi tentu itu tidak akan terjadi.

"Mas, mas Fatah bangun mas. shalat malam dulu..."
Safa membangunkanku, kudengar suaranya sudah terdengar lebih lunak, malah jadi seperti asing walaupun aku merindukan suara yang seperti itu lagi. aku membuka mataku, dan kulihat ia tersenyum menungguku bangun. aku lega hal ini terjadi, tapi aku tidak mau terlalu gembira.

tanpa banyak kata, aku langsung mengerjakan rutinitas malam kami. setelah selesai shalat, aku lihat Safa belum kembali memejamkan matanya. malah ia sangat terlihat segar, dan oh betapa aku merindukan dia yang sepeti ini.

"Mas, ada yang mau aku omongin..."
aku hanya memberi ekspresi mempersilahkan saja, masih merasa kaku bila harus bicara banyak.
"Aku minta maaf untuk sikap aku tiga hari kemarin. tapi aku punya alasan untuk itu. aku mau kita selesaikan masalah kita yang itu sekarang."
"Aku yang harusnya minta maaf..."
"Yah, aku tahu. tapi mas berhak mendapat kesempatan untuk menjelaskannya. tapi aku mau mas tahu satu hal, bahwa sikap aku kemarin-kemarin itu menunjukkan bahwa aku tidak suka ada rahasia seperti itu diantara kita mas. dan bagi aku, itu tidak lah kecil. aku selalu bersikap jujur dan terbuka pada mas, dan aku harap mas juga seperti itu. kehidupan kita baru berjalan sekitar 3 bulan mas, aku gak mau ke sananya jadi rusak karena kita tidak saling berbagi..."
"Maafin mas ya, mas telah memulai pernikahan kita dengan sebuah kebohongan. mas telah menodai ikrar suci kita..."
"Pasti ada alasan kenapa mas memilih bersikap seperti itu. kayaknya pagi ini cukup panjang untuk menceritakannya. dari awal sampai akhir, dan semua tentang Alfi"
aku melirik jam, pukul setengah 3. dan kulihat Safa tersenyum, maksudnya mendesakku supaya segera memulai ceritanya. tapi sebelumnya, kuambil sebuah buku, dan kubiarkan Safa memlihat beberapa foto Alfi yang kupunya.
==|||==

"namanya Alfi. Alfi Faturrisya. umurnya beda 5 tahun sama aku, jadi beda 2 tahun sama kamu.
kalau di kertas itu, dia bilang mengenal aku sebagai teman, itu bener banget. kakaknya dia itu temen mas. temen sekolahan dan temen main juga. rumah kita masih satu komplek, walaupun kepisah agak jauh juga sebenernya. dan orang tua kita juga saling mengenal."


...

to be continue

Posting Komentar